Senin, 6 Januari 2025, suasana di kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tak seperti biasanya. Bukan kunjungan pejabat penting atau pengumuman kebijakan besar yang menjadi sorotan, melainkan "hujan" karangan bunga yang membanjiri halaman gedung. Bukan bunga ucapan selamat, melainkan bunga protes. Aliansi Dosen ASN Kemendikbudristek Seluruh Indonesia (ADAKSI) menyatakan kekecewaan mendalam mereka atas penundaan berlarut-larut pencairan tunjangan kinerja (tukin) yang telah menjadi hak mereka selama bertahun-tahun. Aksi simbolik ini menjadi puncak dari kegelisahan dan rasa frustrasi yang telah menyelimuti para dosen selama periode yang cukup panjang.
Karangan bunga-bunga tersebut, dengan pita-pita bertuliskan pesan protes yang tegas, menjadi representasi visual dari tuntutan ADAKSI yang telah bergema selama bertahun-tahun tanpa mendapatkan tanggapan yang memuaskan. Aksi ini bukan sekadar demonstrasi biasa, melainkan ekspresi keputusasaan dari para akademisi yang merasa hak-hak mereka diabaikan oleh pemerintah. Lebih dari sekadar tuntutan finansial, aksi ini menyoroti isu yang lebih besar: pengabaian terhadap kontribusi vital dosen dalam pembangunan pendidikan nasional.
Anggun Gunawan, Koordinator Aksi ADAKSI, menjelaskan kronologi panjang perjuangan mereka. Ia menekankan bahwa regulasi terkait tunjangan kinerja dosen ASN sebenarnya telah ada sejak tahun 2020. Namun, hingga pemerintahan Presiden Prabowo Subianto saat ini, janji tersebut tetap tinggal janji. Lebih dari lima tahun para dosen menunggu, sebuah periode yang cukup lama untuk menguji kesabaran dan kepercayaan mereka terhadap pemerintah. "Ini bukan sekadar penundaan, melainkan pengabaian terhadap hak-hak dosen ASN," tegas Anggun, mengungkapkan kekecewaan mendalam yang dirasakan oleh seluruh anggota ADAKSI.
Perbandingan yang menyakitkan pun dilontarkan oleh Anggun. Ia mengungkapkan bahwa pegawai ASN lain di Kemendikbudristek segera menerima tunjangan kinerja mereka setelah menerima Surat Keputusan (SK) sebagai ASN. Namun, dosen ASN seakan-akan diperlakukan berbeda, dianaktirikan, dan hak-hak mereka diabaikan. Ketimpangan ini semakin memperkuat argumen ADAKSI bahwa penundaan pencairan tukin bukanlah masalah teknis semata, melainkan indikasi adanya prioritas yang salah dalam pengelolaan anggaran negara.
Harapan sempat muncul di penghujung masa jabatan Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Beliau menyatakan komitmen pemerintah untuk merealisasikan tunjangan kinerja dosen ASN mulai Januari 2025. Pernyataan ini menimbulkan secercah optimisme di kalangan dosen. Namun, harapan tersebut sirna setelah Plt. Sekjen Kemendikbudristek, Togar Mangihut Simatupang, menyatakan pada 3 Januari 2025 bahwa dana untuk tukin belum tersedia dan Peraturan Presiden (Perpres) terkait tukin dosen ASN Kemendikbudristek belum diterbitkan.
Pernyataan ini mendorong ADAKSI untuk menganggap pemerintah lemah komitmennya. Lima tahun lamanya regulasi dan janji bergulir, namun realisasinya terus ditunda. Bagi ADAKSI, tidak ada alasan yang dapat membenarkan penundaan hak yang telah dijanjikan tersebut. Mereka menganggap penjelasan kekurangan dana dan belum terbitnya Perpres sebagai alasan yang tidak meyakinkan dan merupakan bentuk pembiaran terhadap kesejahteraan para dosen.
Aksi pengiriman karangan bunga ini bukan tanpa pertimbangan. ADAKSI telah mencoba berbagai jalur komunikasi dan negosiasi dengan pihak Kemendikbudristek sebelumnya. Namun, upaya-upaya tersebut tampaknya tidak membuahkan hasil yang signifikan. Kekecewaan yang terakumulasi selama bertahun-tahun akhirnya memuncak dalam aksi protes yang bersifat simbolik, namun bermakna dalam.
Lebih dari sekadar tuntutan finansial, isu ini menyoroti permasalahan yang lebih luas mengenai apresiasi dan penghargaan terhadap profesi dosen. Dosen, sebagai pilar utama dalam pembangunan sumber daya manusia, seharusnya mendapatkan perhatian dan penghargaan yang selayaknya. Tunjangan kinerja bukan hanya sebuah hak finansial, melainkan juga bentuk pengakuan atas kontribusi dan dedikasi mereka dalam mendidik generasi bangsa.
Penundaan pencairan tukin juga mempengaruhi moril dan produktivitas para dosen. Ketidakpastian finansial dapat mengurangi semangat dan fokus mereka dalam menjalankan tugas akademik. Hal ini pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan nasional. Oleh karena itu, penyelesaian isu ini bukan hanya merupakan kewajiban pemerintah, melainkan juga investasi untuk masa depan pendidikan Indonesia.
Aksi ADAKSI ini juga mengajak refleksi bagi pemerintah terkait pengelolaan anggaran negara dan prioritas pembangunan nasional. Apakah sektor pendidikan, khususnya kesejahteraan para dosen, benar-benar mendapatkan perhatian yang seimbang dengan perannya yang sangat vital? Pertanyaan ini harus dijawab dengan jujur dan transparan oleh pemerintah.
Ke depan, ADAKSI mengharapkan tanggapan yang konkret dan cepat dari Kemendikbudristek. Mereka menuntut kejelasan jadwal pencairan tukin dan komitmen nyata dari pemerintah untuk menghormati hak-hak para dosen. Aksi pengiriman karangan bunga ini merupakan peringatan keras bagi pemerintah bahwa para dosen tidak akan diam dan akan terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak mereka.
Lebih jauh lagi, kasus ini membuka diskusi tentang sistem penggajian dan tunjangan di sektor pendidikan secara luas. Apakah sistem yang ada sudah adil dan efektif dalam menghargai kontribusi para pendidik? Perlu kajian yang mendalam dan komprehensif untuk memperbaiki sistem tersebut sehingga dapat menjamin kesejahteraan para dosen dan meningkatkan kualitas pendidikan nasional.
Aksi ADAKSI ini juga menjadi pengingat bagi seluruh stakeholder pendidikan, termasuk masyarakat luas, tentang pentingnya mendukung kesejahteraan para dosen. Dosen bukan hanya sekedar pekerja, melainkan agen perubahan yang berperan penting dalam membangun masa depan bangsa. Oleh karena itu, dukungan dan apresiasi dari semua pihak sangat dibutuhkan untuk menjamin kesejahteraan dan meningkatkan profesionalisme para dosen Indonesia.
Akhirnya, "hujan" karangan bunga di Kemendikbudristek bukan hanya sebuah aksi protes, melainkan juga sebuah seruan untuk perubahan. Seruan untuk pemerintah agar lebih responsif terhadap aspirasi para dosen dan untuk seluruh masyarakat agar lebih memperhatikan peran penting para pendidik dalam membangun bangsa. Semoga aksi ini dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk segera menuntaskan masalah pencairan tukin dan membangun sistem pendidikan yang lebih adil dan berkelanjutan.